Pujangga Baru

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Punjangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933-1942 dan 1949-1953. Adapun pengasuhnya atara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah Dan Sanusi Pane. Pujangga baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu disebut dengan angkatan pujangga baru. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh pustaka rakyat. Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi pada jaman pendudukan jepang majalah pujangga baru ini dilarang pemerintah jepang dengan alasan karena kebarat-baratan.
Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini di terbitkan lagi ( hidup 1948-1953), dengan pemimpin redaksi Sultan Takdir Aliscahbana dan beberapa tokoh-tokoh angkatan 45 seperti Asrul, Rivai Apin Dan S. Rukiah. Mengingat masa hidup pujangga baru itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman jepang, maka diperkirakan para penyumbang karangan itu berusia pada tahun 1915-an dan sebelumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pujangga Baru itu?
2. Apa ciri-ciri angkatan pujangga baru?
3. Siapa saja tokoh angkatan pujangga baru?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pujangga baru.
2. Untuk mengetahui ciri-ciri angkatan pujangga baru.
3. Untuk mengetahui tokoh angkatan pujangga baru.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pujangga Baru
Meskipun sudah sekitar tahun 1920 dikenal majalah, dan dan antaranya juga memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak serta karangan-karangan tentang sastra seperti majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Poestaka (1919-1942), Jong Sumatra (1920-1926), dan lain-lainya. Tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesusastraan belum juga terlaksana. Pada tahun 1930 terbit majalah Timboel (1930-1933), mula-mula dalam bahasa Belanda, kemudian pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai redaktur. Pada tahun 1932 itu pula Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu bekerja di Balai Pustaka mengadakan rubrik `Menuju Kesusastraan Baru` dalam majalah Pandji Pustaka.
Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit pada tahun 1933-1942 dan 1949-1953. Para tokoh dari majalah ini adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, dan Amir Hamzah. Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah ini berbunyi “majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”. Akan tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan sejak 1936 bunyinya berubah menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayan persatuan Indonesia”.
Angkatan pujangga baru sebenarnya adalah sebutan bagi orang-orang atau pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat di dalam majalah pujangga baru. Majalah ini diperuntukkan untuk menampung segala tenaga yang selama itu bercerai berai memuatkan hasil-hasil karyanya di berbagai surat kabar dan majalah umum.
Pujangga baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh balai pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Pada masa ini muncul nama-nama seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Mr. Sumanang, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. S. Muh. Sjah, Dr. Ng. poerbatjaraka, W.J.S. Poerwadarminta, H.B. Jassin dan lain-lain.
Namun ketika Jepang masuk dan menduduki Indonesia, majalah pujangga baru dilarang terbit karena dianggap `kebarat-baratan`. Tetapi setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan kembali oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan dibantu oleh tenaga-tenaga muda seperti Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Achdiat K. Miharjda, Dodong Djiwapradja, Harijadi S. Hartowarjodo, S. Rukiah dan lain-lain.
Pada masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah.
2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

B. Ciri-ciri Angkatan Pujangga Baru
Setiap suatu angkatan tentu mempunyai ciri-ciri yang khas atau mendasar yang membedakan dengan angkatan lainnya. Misalnya dalam hal struktur karyanya maupun juga dalam gaya penulisannya. Begitu juga dengan pujangga baru. Adapun ciri-ciri angkatan pujangga baru adalah sebagai berikut:
1. Sudah menggunakan bahasa Indonesia.
Sastrawan pujangga baru terutama Sutan Takdir alisjahbana dalam suatu esainya pada tahun pertama menulis “bahasa Indonesia ialah bahasa perhubungan yang berabad-abad tumbuh perlahan-lahan di kalangan penduduk Asia Selatan dan yang setelah bangkitnya pergerakan kebangunan rakyat Indonesia pada permulaan abad dua puluh dengan insyaf diangkat dengan junjung sebagai bahasa persatuan”. Sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat berpegang pada kemurnian bahasa melayu tinggi seperti H. Agus salim.
2. Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang).
3. Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
4. Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
C. Tokoh Pujangga Baru
1. Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4.
Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatra Utara. Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Kakek Sutan Takdir Alisjahbana dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh Sutan Takdir Alisjahbana ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil Sutan Takdir Alisjahbana bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, Sutan Takdir Alisjahbana pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, Sutan Takdir Alisjahbana melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah Sutan Takdir Alisjahbana bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang, Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967)
Direktur Cenfer for Malay Studies Universitas Malaya tahun 1060-1968
Karya-karyanya
a. Sebagai penulis
• Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
• Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
• Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
• Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
• Layar Terkembang (novel, 1936)
• Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
• Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
• Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
• Pelangi (bunga rampai, 1946)
• Pembimbing ke Filsafat (1946)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
• The Indonesian language and literature (1962)
• Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
• Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
• Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
• Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
• The failure of modern linguistics (1976)
• Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
• Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
• Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
• Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
• Kalah dan Menang (novel, 1978)
• Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
• Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
• Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
• Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
• Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
• Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
• Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
b. Sebagai editor
• Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
• Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
c. Sebagai penerjemah
• Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)
• Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)
Buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana
• Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999)
• S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006)
Penghargaan
• Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
• STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan "Pujangga Baru".
• Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
• DR.HC dari Universitas Indonesia
• DR.HC dari Universitas Sains Malaysia
Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.
2. Armijn Pane
Armijn Pane, lahir di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908 – meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun, adalah seorang Sastrawan Indonesia. Penulis yang terkenal keterlibatannya dengan majalah Pujangga Baru. Bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, Armijn Pane mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.
Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane, kemampuan menilai dan menimbang yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di perioda akhir Pujangga Baru menjadi sangat politis dan dikotomis.
Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel Belenggu.
Bibliografi
• Puisi
o Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960
o Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.
• Novel
o Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
• Kumpulan Cerpen
o Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940
o Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979
• Drama
o Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951.
3. Amir Hamzah
Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.
Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Berikut sajaknya yang berjudul Buah Rindu:
Wah kalau begini naga-naganya
Kayu basah dimakan api,
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani,
(`Buah Rindu` I)
Ibu, konon jauh tanah Selindung
Tempat gadis duduk berjuntai;
Bonda, hajat hati memeluk gunung,
Apalah daya tangan tak sampai.
(`Buah Rindu` II)
Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar (tt.).
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.
Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.

4. J E. Tatengkeng
J E. Tatengkeng atau lengkapnya Jan Engelbert Tatengkeng adalah penyair Pujangga Baru. Ia biasa dipanggil Oom Jan oleh orang-orang dekatnya, panggilan yang lazim di kalangan masyarakat Sulawesi Utara. Tatengkeng memang merupakan salah satu fam dari propinsi itu. Oom Jan ini dilahirkan di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, pada tanggal 19 Oktober 1907.a adalah putra dari seorang guru Injil yang juga merupakan kepala sekolah zending. Di samping itu, tanah kelahirannya, tempat ia dibesarkan oleh orang tuanya, adalah sebuah pulau kecil di timur laut Sulawesi yang konon masyarakatnya hampir seluruhnya beragama Kristen. J.E. Tatengkeng memulai pendidikannya di sebuah sekolah Belanda, HIS, di Manganitu. Ia kemudian meneruskannya ke Christelijk Middagkweekscool atau Sekolah Pendidikan Guru Kristen di Bandung, Jawa Barat dan Christelijk Hogere Kweekschool atau Sekolah Menengah Tinggi Pendidikan Guru Kristen di Solo, Jawa Tengah. Di sekolah-sekolah itulah J.E. Tatengkeng mulai berkenalan dengan kesusastraan Belanda dan gerakan Tachtigers “Angkatan 80-an”, yang kemudian banyak mempengaruhi karya-karyanya. Seni harus tinggal seni.” Bagi Tatengkeng, seni adalah gerakan sukma, “Gerakan sukma yang menjelma ke indah kata! Itulah seni bahasa!,” katanya. Sebagai penyair, J.E. Tatengkeng dikenal sebagai penyair yang dekat dengan alam. Konon, kedekatan Tatengkeng dengan alam itu timbul sebagai akibat kekecewaannya karena tidak dapat menemukan kebenaran di dunia barat yang masih alami. Di kawanan awan, di warna bunga yang kembang, pada gunung, dan pada bintang, tetap saja Tatengkeng belum merasa berhasil menemukan kebenaran hakiki. Oleh karena itu, setelah jiwanya lelah mencari kebenaran hakiki, ia menjadikan Tuhan sebagai tempatnya berlabuh. Gelombang kehidupan Tatengkeng itu tergambar pada sebagian besar sajak-sajaknya. Tentu saja sajak-sajaknya yang religius itu bernafaskan ke-Kristenan, agama yang dianutnya. Sejak tahun 1953, J.E. Tatengkeng mulai jarang menulis. Akan tetapi, krativitasnya sebagai penyair tidak pernah hilang meskipun ia bergiat dalam bidang politik dan pemerintahan. Hal itu dibuktikan dengan beberapa sajaknya yang dimuat pada beberapa majalah setelah tahun 1953. J.E Tatengkeng meninggal pada tanggal 6 Maret 1968 dan dikebumikan di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan.
5. Sanusi Pane
Sanusi Pane (lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 – meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an.
Keluarga
Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.
Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya tahun 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada tahun 1925. Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya.
Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah "Timbul" yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu "Kebangunan" di Jakarta; dan tahun 1941 ia menjadi redaktur Balai Pustaka.
Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana.[1] Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau.[2] Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesa Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940.
a. Karya
Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, diantaranya sebagai berikut:
• Pancaran Cinta (1926)
• Prosa Berirama (1926)
• Puspa Mega (1927)
• Kumpulan Sajak (1927)
• Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928)
• Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929)
• Madah Kelana (1931)
• Kertajaya (drama, 1932)
• Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933)
• Manusia Baru (drama, 1940)
• Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940)
6. Amir Hamzah
Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.
Amir Hamzah bersekolah menengah dan tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Karyanya yang paling terkenal adalah Buah Rindu. Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar (tt.).
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.
Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Ia wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Punjangga Baru merupakan nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahu 1933 adanya pelarangan oleh perintah jepang setelah tentara jepang berkuasa di Indonesia.Adapun pengasuhnya atara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane, Amir Hamzah Dan Sanusi Pane. Jadi pujangga baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang asil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, di nilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah ke depan. Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.



















DAFTAR PUSTAKA


Artikel non-personal, 20 oktober 2010, Sutan Takdir Alisjahbana, Wikipedia Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Sutan_Takdir_Alisjahbana, diakses tanggal 23 Oktober 2010.
Artikel non-personal, 11 oktober 2007, J.E Tetangkeng, shvoong, http://id.shvoong.com/social-sciences/1687068-tatengkeng/, diakses tanggal 23 Oktober 2010.
Artikel non-personal, 8 oktober 2010, Armijn Pane, Wikipedia Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Armijn_Pane, diakses tanggal 23 Oktober 2010.
Artikel non-personal, 24 Mei 2010, Amir Hamzah, Wikipedia Bahasa Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Amir_Hamzah, diakses tanggal 23 Oktober 2010.
Nurvida, 23 Agustus 2010, Sejarah Pujangga Baru, Taloong`s blog, http://nurvidha.wordpress.com/2010/08/23/sejarah-pujanga-baru/, diakses tanggal 23 Oktober 2010.
Rosidi, Ajip.1968.Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.Bandung:Binacipta.

Emha Hafidh

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment